Surat Kecil Untuk Malaikatku
Pagi itu hujan berjatuhan begitu lebat, tak ada ada payung
untuk menerobos kesekolah. Dialog pagi itu hanya aku dengan hujan, waktu terus
berjalan, kulihat pelastik disampingku kukenaakan untuk menutupi badanku,
berlari dengan kencang untuk berangkat kesekolah.
Satpam tidak mengizinkan masuk ke dalam sekolah karena
terlambat, baju putih abu-abu yang ku kenakan basah, aku berteduh di
pinggir-pinggir tiang sekolah. Sebut saja Aku, Aku adalah diriku yang insecure.
Kelas 2 SD adalah puncak dari keterpurukanku, ibuku
meninggal tanpa pernah pamit. Tak mengerti alur hidup yang terus berjalan.
Kekacauan, kesedihan, kurang perhatian, dan ada banyak hal yang tidak bisa
diungkapkan dengan kata-kata.
Aku teringat kanker Payudara yang terlihat jelas dibawah
payudara ibuku mengeluarkan nanah yang bau dan menjijikkan, dengan korek kuping
yang ia genggam, ibuku menangis membersihkan nanah dan darah yang keluar dari
bolongan sebesar pusar dibawah
payudaranya “sakit..sakit..sakit” ucap ibuku dengan suara yang sangat
pelan.
Aku dan adikku yang berumur 4 tahun hanya bisa diam dan
melihat tangisan ibuku. Kami tidak menangis lagi ketika ibuku membersihkan
payudaranya, karena setiap hari itu adalah santapan pahit yang kami lihat. Dari
ujung kepala hingga kaki ibuku sangat
hitam seperti arang membuat orang-orang merasa aneh melihatnya. Tapi bukan
hanya penyakit kanker yang dideritanya namun penyakit liver atau hati.
Ibuku adalah malaikatku, meskipun tak cantik jelita seperti
yang teman-temanku katakan. Tapi hatinya seputih kapas, hatinya sekuat baja, lapang
menerima semua keadaan yang dideritanya.
Pagi ini tidak seperti biasa, ibuku sangat cantik dan sehat.
Ibu menguncir rambutku “semangat sekolahnya ya nak, jangan bandel-bandel,
jagain adek. Nanti kalo ibu udah gak ada kamu harus mandiri” ucap ibu dengan jawaban polos aku hanya
berkata “siap bu” sambil tertawa bersemangat
Ketika pulang sekolah aku mencari ibuku karena tidak ada
dirumah, akhinya ayah kudatang dan membawaku bersama adikku kekampung tempat
kakak ayahku dengan pakaian merah putih yang masih kukenakan.
Dua hari berlalu tidak ada kudengar suara ibuku sepatahpun,
setiap malam aku dan adikku menangis karena merindukan ibuku. “bu...bu...”
tangis adikku, aku berusaha menenangkan adikku malam itu. Jam menunjukkan jam 2
pagi aku menangis didalam selimut yang aku kenakan sedangkan adikku sudah
tertidur. Aku berdoa pada Tuhan, “Tuhan tolong sembuhkan ibuku ya, aku dan
adikku masih membutuhkan ibu”
Pagi ini ayahku menelpon, “nakku, ibu udah sehat ya, dia gak
ngerasain sakit lagi” ucap ayahku aku dan adikku sangat senang. Aku dan adikku
diantar menggunakan mobil pikap bersama bibiku. Sesampainya dirumah aku melihat
tenda biru terpampang didepan rumahku “ibu....ibuuu” ucapku dengan tangisaan
yang keras
Malaikatku pergi menggalkan kami tanpa berpamitan sepatah
kata pun. Aku memeluk ibuku, berteriak dikupingnya. Aku berharap ini hanyalah
mimpi. Ketika akan dikuburkan aku marah, aku tidur didalam peti ibu ku “bawa
aku pergi bersama ibuku!!” ucapku
Surat kecilku untuk malaikatku “aku berharap bisa seperti
teman-temanku tertawa dan bercerita pada ibunya namun Tuhan lebih mencintai
ibuku” sampaikan salam ku untuk malaikatku
Andia Regita Cahyani Br Pelawi (Politeknik Negeri Jakarta)
Cerita yang luar biasa, saya merasakan bahwa cerita ini memiliki nyawa di dalam nya.
BalasHapusterima kasih
BalasHapus